Sabtu, 08 Juni 2019

Jafar 1993



Senja yang temaram baru saja beranjak, kini malamlah yang sedang menyelimuti. Pun, beberapa saat yang lalu riuh derap kaki melangkah beradu dengan deru mesin motor meninggalkan halaman masjid. Yaaa… malam ini adalah malam 21 Ramadhan, orang-orang semakin semangat untuk berburu malam yang lebih baik dari seribu bulan.
Sebuah kabar telah tiba!
“Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raajiuun” bergumam lirih lisan ini.
Sambil tertegun, terasa tubuh ini bergetar, darahpun membuncah di kepala, terasa hangat air itu mengalir di wajah ini.
Sahabat, kini kakimu tak lagi berpijak di bumi ini, suaramu tak lagi menggelombang di udara. Jatah untukmu telah habis, waktu untuk menyemai dan menanam pohon-pohon amalan kini telah terlewati, yang ada tinggallah menunggu hasil panen, yaa… menunggu, mungkin 10 tahun, 100 tahun, 1000 tahun bahkan mungkin jutaan tahun kemudian, di duniamu yang sekarang.
Sekelebat waktu memoriku flash back ketika engkau masih bernafas, kelopak matamu masih terbuka, tubuh berdiri kokoh dan hangat jabatan tangan ketika kita berpisah beberapa pekan yang lalu. Memang…. Beberapa pekan yang lalu tiba-tiba engkau muncul depan rumahku.
“Untuk urusan keluarga bro”, begitu katamu ketika kutanya
Sekitar 5 hari kita bersama, kesempatan tidak kusia-siakan menanyakan kabar beberapa kawan disana.
“Sekarang si Bonar dimana?” tanyaku
Si Ipul, Antoni, Untung, Si Pammang, Kak Ammang, Halim dan adek-adeknya, Asda, Rahmat, Albert, Satno, Edi, Kak Unrung & Kak Tiar, Anak-anak di pasar, Kak Doang, kak Illang, Anak-anak simpang Andouohu lama. Semua tak satupun yang terlewat, kita membahasnya setiap saat ketika duduk-duduk di teras bersama kemenakanmu, Yoga.
“Eehh….. bos sekarang dimana?” kembali bertanya.
Ingatkan sama si Bos, bagaikan rumah singgah bagi anak mahasiswa ketika kehabisan logistik.
“Si Sul sama si Anto yang paling tahu itu, bro.” begitu jawabmu
“Ha…ha…ha…ha….” Kitapun terbahak bersamaan
“Si Botak juga.” Engkau menambahkan, tawa kitapun terdengan makin kencang.
Panjang lebar engkau menceritakan suasana di sana sekarang, sambil sesekali kita terbahak-bahak ketika mengenang masa-masa yang telah berlalu, masa-masa yang penuh dengan energi, masa-masa yang penuh dengan kebodohan tapi semua terasa indah, seolah kita de javu dengan semua itu.
Semua kenangan ini tidak akan hilang, sobat.
Engkau telah menitipkan memori itu kepada orang-orang yang tepat, aku mungkin hanya satu dari ratusan orang yang akan mendekap erat kenangan itu.
Sahabat …..
Tak cukuplah lembaran digital ini memuat semua kenangan itu, kawan
Aku hanya ingin bercerita sedikit tentang tim sepak bola kita yang dikomandoi oleh bredermu yang ganteng itu, Campa si Batigol. Tempat latihan kita kecil tapi keren bro, dipinggir lapangan tumbuh semak belukar yang sekaligus sebagai garis pinggir lapangan, dibelakang gawang ada bangunan yang depan rumahnya tepat menghadap ke lapangan.
Masih ingatkan? Kawanku…
Setiap bola masuk ke halaman rumah tersebut, apalagi bunyi kaca yang terkena bola yang terdengar, yakin beberapa detik kemudian suara garang dari dalam rumah akan terdengar menggelegar. Lapangan kita itu kita beri nama Olympico seperti nama kandang Jawara Serie A kala itu AS Roma dengan bintang tenarnya Gabriel Omar Batistuta. Ohh… kawan aku hampir lupa ternyata pemain andalanmu adalah Redondo, sorry bro

Beberapa kali tim kita keluar melakukan uji coba dengan beberapa tim kampung, ingatkan kawan?, kalau tim kita hanyalah tim lorong yang nekad bermain bola berbekal Olympico sebagai Home kita.
Suatu kali kita nekad menantang tim salah satu perusahaan yang lumayan besar kala itu di sana yakni PT. Samudra Indonesia, kita mendatanginya dengan semangat Olympico, kita bermain di atas lapangan yang cukup bagus,
“Ya ialah inikan fasilitas milik perusahaan besar”. Begitu salah seoarang kawan kita menimpali.
Tim kitapun bermain, dan ternyata pemain-pemain mereka sebagain besar dari Tim Divisi 3.
“Mereka pemain PSK”. Seseorang membisiki kami, mungkin mencoba membebani kami dengan nama besar itu.
Eeehh….. Jangan salah bro, mereka bukan Penjaja Seks Komersil tapi Persatuan Sepakbola Kendari. Tim kebanggan kota kita kala itu.
Permainanpun berjalan cukup menarik, tapi yakinlah kawan hasil akhirlah yang dihitung, ternyata tim kita menang telak, tim lorong telah mengalahkan tim sebuah perusahaan besar, suatu kebanggaan yang sangat besar. Euphoria itulah yang memunculkan ide kawan yang lain.
“PS Andounohu selanjutnya”. Begitu kawan-kawan menunjukkan ekspresi kemenangan. Ingatkan kawan? PS Anduonohu itu adalah tim lokal yang sangat kuat kala itu.
Beberapa pekan berlalu, tibalah sebuah kabar menarik.
“Ada undangan pertandingan dari PT. Samudra Indonesia”. Sambil membaca surat tersebut, si Coach tersenyum dengan gayanya yang khas terlihat sinis dan pasti mengjengkelkan, gaya Anak Pasaran!.
Revenge pun terjadi.
Bak film silat murahan dengan tokoh baik dan tokoh jahatnya, yang pasti kitalah tokoh baiknya kawan.
Si tokoh jahat membabi buta ingin mengalahkan musuhnya, dengan segala cara. Pertandingan cukup menarik, sayang mereka dengan nama besar dan dengan kualitas semi professional bermain kasar. Sayapun sempat dilibas oleh striker mereka. Permainanpun berakhir.
Sebuah cerita yang berakhir ironis kawan….
Si tokoh baik ternyata kalah dari si tokoh jahat, revenge mereka berhasil kala itu kawan.
Tapi, sahabatku……
Saya baru ingat ternyata ketika pertandingan pertama itu, engkau sama si Botak tidak ada dalam line up pemain yang diturunkan oleh Coach Batigol, tapi kita menang.
Barulah pada pertandingan kedua saat revenge itu, kalian berdua ada dalam line up pemain, dan kita kalah.
“Kenapa ya?” bergumam si Coach tidak habis pikir.
Cerita bola itupun berakhir, sahabat…..

Beberapa tahun kemudian, engkau tiba-tiba muncul.
“Mau menikah bro.” agak genit mukamu saat itu.
Cerita indah tentang keluargamu yang baru, berjalan bagaikan kereta Shinkansen, sangat cepat. Bahkan mungkin terlalu cepat hingga memori kita tidak sempat menyimpan file-filenya.
Engkau kembali sendiri, sahabat….

Tapi duka itu sama sekali tidak pernah engkau tampakkan di raut wajahmu, mungkin engkau terluka dengan itu kawan, tapi engkau mampu melewati dan menyimpannya.
“Bukan untuk konsumsi publik,” begitu kira-kira jawabanmu seandainya ada yang menanyakan itu.
Sahabat….
Engkau telah melewati 2/3 dari Ramadhan ini, Ramadhan terakhir untukmu.
Semoga Ramadhanmu ini berarti, dia tidak pergi begitu saja, persis seperti yang aku dan engkau lakukan bertahun-tahun yang lalu. Dahulu kala Ramadhan hadir, kita membiarkannya sepi. Hingga dia beranjak, kita tetap sepi.

Entah ada atau tidak ada dosa kita yang diampuni.
Entah ada rasa lapar dan dahaga itu tercatat oleh malaikat-Nya
Entah qiyaam itu ada nilainya
Entah berhakkah kita melewati pintu Ar-Rayyan itu, kelak…
Entahlah kawan ….

Bukankah Allah begitu pemurahnya kepada kita, masih memberikan kita sekali lagi kesempatan. Masih membiarkan nafas kita berhembus, walaupun engkau tidak sampai finish tapi engkau masih mendapati Bulan yang mulia ini. Semoga Ramadhan terakhirmu ini meninggalkan arti dalam lembaran amalmu.

Kini sahabat….
Tiada lagi Ramadhan untukmu…
Tiada lagi Shiyam untukmu…
Tiada lagi qiyaam untukmu…
Tiada lagi tilawah untukmu…
Tiada lagi shadaqah untukmu…
Tiada lagi istigfar untukmu…
Tiada lagi do’a-do’a untukmu…
Tiada lagi I’tikaf untukmu…
Tiada lagi idul fitri untukmu…
Yang ada hanya hisab!

Sahabat…
Aku meminta maaf kepadamu, karena baru kali ini aku mengikutkan namamu dalam sujud-sujud panjangku, ada namamu ketika air mata berlinang dalam do’a-do’aku.

Allahummagfirlahu warhamhu wa afihi wagfuanhu wa akrim nuzulahu wa wassig mudkhalahu wagsilhu bilmai wassalji wal barad min khatayaa kamaa nakkaitassauba al alyadu minaddanas wa abdilhu daran khairan min daarih wa ahlan Khairan min ahli wa adkhilhul jannata wa aishu min azabil kabri min azabinnar.


                                                                                             
Baraka, 21 Ramadhan 1440 H

Untuk seorang sahabat, kemenakan...
Jafar bin Junwar bin Tjella

                                                                                      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar