Senja yang temaram baru saja beranjak, kini malamlah yang
sedang menyelimuti. Pun, beberapa saat yang lalu riuh derap kaki melangkah
beradu dengan deru mesin motor meninggalkan halaman masjid. Yaaa… malam ini
adalah malam 21 Ramadhan, orang-orang semakin semangat untuk berburu malam yang
lebih baik dari seribu bulan.
Sebuah kabar telah tiba!
“Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raajiuun” bergumam lirih lisan
ini.
Sambil tertegun, terasa tubuh ini bergetar, darahpun
membuncah di kepala, terasa hangat air itu mengalir di wajah ini.
Sahabat, kini kakimu tak lagi berpijak di bumi ini, suaramu
tak lagi menggelombang di udara. Jatah untukmu telah habis, waktu untuk
menyemai dan menanam pohon-pohon amalan kini telah terlewati, yang ada
tinggallah menunggu hasil panen, yaa… menunggu, mungkin 10 tahun, 100 tahun,
1000 tahun bahkan mungkin jutaan tahun kemudian, di duniamu yang sekarang.
Sekelebat waktu memoriku flash
back ketika engkau masih bernafas, kelopak matamu masih terbuka, tubuh
berdiri kokoh dan hangat jabatan tangan ketika kita berpisah beberapa pekan
yang lalu. Memang…. Beberapa pekan yang lalu tiba-tiba engkau muncul depan
rumahku.
“Untuk urusan keluarga bro”, begitu katamu ketika kutanya
Sekitar 5 hari kita bersama, kesempatan tidak kusia-siakan
menanyakan kabar beberapa kawan disana.
“Sekarang si Bonar dimana?” tanyaku
Si Ipul, Antoni, Untung, Si Pammang, Kak Ammang, Halim dan
adek-adeknya, Asda, Rahmat, Albert, Satno, Edi, Kak Unrung & Kak Tiar,
Anak-anak di pasar, Kak Doang, kak Illang, Anak-anak simpang Andouohu lama.
Semua tak satupun yang terlewat, kita membahasnya setiap saat ketika
duduk-duduk di teras bersama kemenakanmu, Yoga.
“Eehh….. bos sekarang dimana?” kembali bertanya.
Ingatkan sama si Bos, bagaikan rumah singgah bagi anak
mahasiswa ketika kehabisan logistik.
“Si Sul sama si Anto yang paling tahu itu, bro.” begitu
jawabmu
“Ha…ha…ha…ha….” Kitapun terbahak bersamaan
“Si Botak juga.” Engkau menambahkan, tawa kitapun terdengan makin
kencang.
Panjang lebar engkau menceritakan suasana di sana sekarang,
sambil sesekali kita terbahak-bahak ketika mengenang masa-masa yang telah
berlalu, masa-masa yang penuh dengan energi, masa-masa yang penuh dengan
kebodohan tapi semua terasa indah, seolah kita de javu dengan semua itu.
Semua kenangan ini tidak akan hilang, sobat.
Engkau telah menitipkan memori itu kepada orang-orang yang
tepat, aku mungkin hanya satu dari ratusan orang yang akan mendekap erat
kenangan itu.
Sahabat …..
Tak cukuplah lembaran digital ini memuat semua kenangan itu,
kawan
Aku hanya ingin bercerita sedikit tentang tim sepak bola
kita yang dikomandoi oleh bredermu yang ganteng itu, Campa si Batigol. Tempat
latihan kita kecil tapi keren bro, dipinggir lapangan tumbuh semak belukar yang
sekaligus sebagai garis pinggir lapangan, dibelakang gawang ada bangunan yang
depan rumahnya tepat menghadap ke lapangan.
Masih ingatkan? Kawanku…
Setiap bola masuk ke halaman rumah tersebut, apalagi bunyi
kaca yang terkena bola yang terdengar, yakin beberapa detik kemudian suara
garang dari dalam rumah akan terdengar menggelegar. Lapangan kita itu kita beri
nama Olympico seperti nama kandang
Jawara Serie A kala itu AS Roma dengan bintang tenarnya Gabriel Omar Batistuta.
Ohh… kawan aku hampir lupa ternyata pemain andalanmu adalah Redondo, sorry bro…
Beberapa kali tim kita keluar melakukan uji coba dengan
beberapa tim kampung, ingatkan kawan?, kalau tim kita hanyalah tim lorong yang
nekad bermain bola berbekal Olympico
sebagai Home kita.
Suatu kali kita nekad menantang tim salah satu perusahaan
yang lumayan besar kala itu di sana yakni PT. Samudra Indonesia, kita
mendatanginya dengan semangat Olympico, kita bermain di atas lapangan yang
cukup bagus,
“Ya ialah inikan fasilitas milik perusahaan besar”. Begitu
salah seoarang kawan kita menimpali.
Tim kitapun bermain, dan ternyata pemain-pemain mereka
sebagain besar dari Tim Divisi 3.
“Mereka pemain PSK”. Seseorang membisiki kami, mungkin
mencoba membebani kami dengan nama besar itu.
Eeehh….. Jangan salah bro, mereka bukan Penjaja Seks
Komersil tapi Persatuan Sepakbola Kendari. Tim kebanggan kota kita kala itu.
Permainanpun berjalan cukup menarik, tapi yakinlah kawan hasil
akhirlah yang dihitung, ternyata tim kita menang telak, tim lorong telah
mengalahkan tim sebuah perusahaan besar, suatu kebanggaan yang sangat besar. Euphoria
itulah yang memunculkan ide kawan yang lain.
“PS Andounohu selanjutnya”. Begitu kawan-kawan menunjukkan
ekspresi kemenangan. Ingatkan kawan? PS Anduonohu itu adalah tim lokal yang
sangat kuat kala itu.
Beberapa pekan berlalu, tibalah sebuah kabar menarik.
“Ada undangan pertandingan dari PT. Samudra Indonesia”.
Sambil membaca surat tersebut, si Coach tersenyum dengan gayanya yang khas
terlihat sinis dan pasti mengjengkelkan, gaya Anak Pasaran!.
Revenge pun
terjadi.
Bak film silat murahan dengan tokoh baik dan tokoh jahatnya,
yang pasti kitalah tokoh baiknya kawan.
Si tokoh jahat membabi buta ingin mengalahkan musuhnya,
dengan segala cara. Pertandingan cukup menarik, sayang mereka dengan nama besar
dan dengan kualitas semi professional bermain kasar. Sayapun sempat dilibas
oleh striker mereka. Permainanpun
berakhir.
Sebuah cerita yang berakhir ironis kawan….
Si tokoh baik ternyata kalah dari si tokoh jahat, revenge mereka berhasil kala itu kawan.
Tapi, sahabatku……
Saya baru ingat ternyata ketika pertandingan pertama itu,
engkau sama si Botak tidak ada dalam line
up pemain yang diturunkan oleh Coach Batigol, tapi kita menang.
Barulah pada pertandingan kedua saat revenge itu, kalian
berdua ada dalam line up pemain, dan
kita kalah.
“Kenapa ya?” bergumam si Coach tidak habis pikir.
Cerita bola itupun berakhir, sahabat…..
Beberapa tahun kemudian, engkau tiba-tiba muncul.
“Mau menikah bro.” agak genit mukamu saat itu.
Cerita indah tentang keluargamu yang baru, berjalan bagaikan
kereta Shinkansen, sangat cepat.
Bahkan mungkin terlalu cepat hingga memori kita tidak sempat menyimpan file-filenya.
Tapi duka itu sama sekali tidak pernah engkau tampakkan di
raut wajahmu, mungkin engkau terluka dengan itu kawan, tapi engkau mampu melewati
dan menyimpannya.
Sahabat….
Engkau telah melewati 2/3 dari Ramadhan ini, Ramadhan
terakhir untukmu.
Semoga Ramadhanmu ini berarti, dia tidak pergi begitu saja,
persis seperti yang aku dan engkau lakukan bertahun-tahun yang lalu. Dahulu
kala Ramadhan hadir, kita membiarkannya sepi. Hingga dia beranjak, kita tetap
sepi.
Entah ada atau tidak ada dosa kita yang diampuni.
Entah ada rasa lapar dan dahaga itu tercatat oleh
malaikat-Nya
Entah qiyaam itu ada nilainya
Entah berhakkah kita melewati pintu Ar-Rayyan itu, kelak…
Entahlah kawan ….
Bukankah Allah begitu pemurahnya kepada kita, masih
memberikan kita sekali lagi kesempatan. Masih membiarkan nafas kita berhembus,
walaupun engkau tidak sampai finish tapi engkau masih mendapati Bulan yang
mulia ini. Semoga Ramadhan terakhirmu ini meninggalkan arti dalam lembaran
amalmu.
Kini sahabat….
Tiada lagi Ramadhan untukmu…
Tiada lagi Shiyam untukmu…
Tiada lagi qiyaam untukmu…
Tiada lagi tilawah untukmu…
Tiada lagi shadaqah untukmu…
Tiada lagi istigfar untukmu…
Tiada lagi do’a-do’a untukmu…
Tiada lagi I’tikaf untukmu…
Tiada lagi idul fitri untukmu…
Yang ada hanya hisab!
Sahabat…
Aku meminta maaf kepadamu, karena baru kali ini aku
mengikutkan namamu dalam sujud-sujud panjangku, ada namamu ketika air mata
berlinang dalam do’a-do’aku.
Allahummagfirlahu warhamhu wa afihi wagfuanhu wa akrim
nuzulahu wa wassig mudkhalahu wagsilhu bilmai wassalji wal barad min khatayaa
kamaa nakkaitassauba al alyadu minaddanas wa abdilhu daran khairan min daarih
wa ahlan Khairan min ahli wa adkhilhul jannata wa aishu min azabil kabri min
azabinnar.
Baraka, 21 Ramadhan 1440 H
Untuk seorang sahabat, kemenakan...
Jafar bin Junwar bin Tjella