Rabu, 22 April 2015

Mahasiswa dan Warung Coto

Aroma kuah Coto Makasar semakin menjejali hidung ketika warung kecil itu mulai tampak di depan mata, semakin mempercepat langkah ketiga mahasiswa yang baru keluar dari kampus setelah perkuliahan siang ini. Terlihat dari wajah dan penampilannya kalau mereka sering menahan lapar (yaa... wajarlah, keuangan anak kuliahan kan seperti pasang surutnya air laut, kalau tidak ada kiriman dan mau makan tinggal menuju ke kost-kosan sebelah yang berisi mahasiswi dengan alasan minta nasi buat lem, tapi yang mengherankan bagi para mahasiswi, minta nasi untuk lem tapi bawa piring trus ambil satu ikan goreng, heran ya?). Bergegas mereka masuk dan mencari meja yang kosong seperti biasa meja yang menjadi incaran mereka adalah meja agak disudut, apa hubungannya makan Coto Makassar dengan meja di sudut? mau tahu jawabannya? terus ikuti mereka !. 86 Siap.


"Wah mejanya terisi Nang", sedikit meringis menahan kepala yang sudah nyut-nyutan akibat dari uap asam lambung yang naik ke kepala, Decky menatap temannya.
"Sabar mi, sebentar lagi mereka selesai", berusaha menghibur Idul sambil menahan gejala yang sama dialami Decky.

Sambil menunggu di emperan toko yang menjadi sandaran salah satu tiang warung ini, ketiga anak muda rupanya mahasiswa salah satu perguruan tinggi di kota ini yang baru keluar dari kampus, seorang pengamen yang sepertinya nasib mereka tidak jauh berbeda menyetel senar gitarnya. (mungkin mengalihakan rasa laparnya juga ya?)

"Cepatmi, itu sudah keluarmi", bergegas mereka masuk dan menuju meja yang menjadi target mereka.
"Tiga campur daeng" setengah berteriak Nanang yang belum duduk dengan sempurna mengangkat tiga jarinya ke arah Daeng Penjual Coto.

Aroma kuah Coto Makassar bercampur jeruk nipis dari meja sebelah hampir saja membuat air liur ketiga pemuda ini hampir saja menetes membasahi meja andalan mereka, untunglah sebelum menetes dengan cepat kembali ditelan yang menimbulkan bunyi "gluk", bapak dari meja sebelah melirik mereka sambil tersenyum. Decky yang paling keras "gluknya" hanya mengetuk-ngetuk meja dengan jari tengahnya.
"Tabe' Cotota' di", dua orang pelayan mengantarkan tiga mangkuk coto dan sepiring ketupat yang menggunung. Pelayan yang pertama kembali ke meja daeng yang sedang mengisi mangkuk pesanan pelanggan yang baru masuk, tapi pelayan yang satunya menuju ke meja yang kosong dekat pintu masuk dan mengambil piring ketupat yang kondisinya sama dengan yang disodorkan ke meja 3 Nanang dan teman-temannya kemudian ketupat tersebut diletakkan di meja mereka.

Setelah menambah kecap, jeruk nipis, lombok tumis dan irisan daun bawang mereka mulai makan. beberapa menit kemudian, setelah bunyi sruuup-sruuup beberapa kali daging coto di mangkuk pemuda ini masih utuh, yang berubah hanyalah kuahnya yang semakin dangkal dan kulit ketupat di depan mereka yang semakin banyak.

"Tambah cotonya daeng", bapak di meja sebelah menyerahkan mangkuk kosongnya ke pelayan. Berbeda dengan meja disebelah si bapak, meja si bapak hanya tampak satu atau mungkin dua kulit ketupat. Mejanya hampir terbebas dari kulit ketupat, tapi di sebelahnya kulit ketupat bertebaran hampir setinggi botol kecap si daeng.

Sambil berdiri dan berjalan menuju meja daeng penjual coto, Nanang menyerahkan mangkoknya "Tambah kuahnya daeng", sambil menahan pedas dan keringat yang membasahi jidat sampai lehernya. Mangkuk Decky juga mulai mengering tinggal menyisakan potongan-potongan kecil daging, usus dan beberapa bagian lambung tampak seperti handuk yang di potong-potong, bergegas dia menuju si daeng "Tambah juga daeng", sambil menyodorkan mangkuknya ke daeng.

Idul yang melihat kedua temannya sepertinya mengalami De Javu, bagaimana tidak, mangkuk mereka yang tadinya kosong kini kembali seperti semula tanpa kurang sepotong dagingpun dan yang pasti harga yang mereka bayarkan tetap harga semangkuk Coto Makassar. Sedikit ragu Idul juga menghampiri daeng "Tambahka' juga kuahnya daeng" si daeng menerima mangkuknya sambil melirik ke wajah idul yang basah sampai ke bajunya.

De Javu betul-betul dialami ketiganya, 2 piring ketupat yang tadinya menggunung kini tinggal sebiji. "daeng masih ada ketupatta'? "
"Iye' adaji"  si pelayan mengambil piring ketupat dan menambahkan ke meja mereka.

Kejadian dari awal terulang kembali tapi kini sesekali daging coto berhasil juga menyentuh lambung mereka. Hanya beberapa saat mangkuk mereka betul-betul bersih, tinggallah meja dihadapan mereka yang penuh dengan kulit ketupat.

Sambil mengisap rokoknya dalam-dalam Nanang, Decky, Idul berjejer menuju ke meja daeng.
"Berapa daeng"
"Berapa ketupatmu?"
"13 daeng"
"Dua puluh lapan ribu" kemudian Nanang keluar sambil mengibas-ngibaskan telapak tangannya ke mukanya.
"Kalau saya berapa daeng"
"Berapa kau ketupatmu"
"12 daeng"
"Dua puluh tujuh ribu" Decky menyerahkan beberapa lembar uang 5 ribuan.
"Saya ia daeng"
"Kau ia berapa"
"15 daeng" beberapa pelanggan warung tersenyum-senyum melihat Idul karena dialah yang paling kurus diantara mereka  tapi dia yang makan ketupat paling banyak.
"30 ribu"
"Makasih daeng" Idul menyusul kedua rekannya keluar dari warung coto langganan mereka.

Setelah menikmati makanan favoritnya merekapun pulang ke kos-kosan dan membayangkan hidangan Coto Makassar yang membuat keringat mereka mengalir akan mereka nikmati lagi bulan depan, sama seperti bulan-bulan sebelumnya (dengan catatan kiriman normal dan tidak ada biaya lain-lain yang muncul dari kampus).

Bravo Mahasiswa, perjuangkan makanan favoritmu.

Bersambung....


#mengingat beberapa tahun yang lalu 

Selasa, 21 April 2015

Wahai Anakku

Wahai Anakku....
Saat itu ibumu masih bermain dengan sang kakak dan tetap melakukan rutinitasnya setiap hari tanpa ada perubahan dari hari-hari sebelumnya. Tanpa disadarinya, pembuluh syaraf, organ pencernaan dan indramu mulai terbentuk.
Beberapa minggu kemudian, ibumu tampak kurang bersemangat, sering merasa kedinginan tapi naluri sebagai seorang ibu selalu hadir dalam hangatnya keluarga, ibumu semakin bertanya-tanya kalau gejala yang dirasakannya memang seperti dugaannya, dan engkaupun berubah sangat cepat, bentukmu sudah menyerupai manusia, jantungmu mulai berdetak, jari-jarimu mulai tampak,tulang mulai menggantikan tulang dada.
Wahai Anakku ....
Dugaan ibumu memang benar, dia tampak sangat menderita ketika mual dan muntah-muntah sepanjang hari, hari demi hari dilalui dengan berbaring di tempat tidur sambil membungkus tubuhnya dengan selimut tebal. Rutinitas kesehariannya kacau balau, bermain dengan sang kakakpun kini tak pernah lagi. Sedemikian parahnya hingga ibumu sempat dirawat di Rumah Sakit selama beberapa hari. Saat itu sistim peredaran dan saluran kencingmu mulai bekerja serta organ reproduksimu mulai berkembang.

Haripun berlalu, semangat ibumu berangsur pulih, muka yang pucat kian berseri, kakak yang beberapa minggu ini merindukan pelukan dan ciuman dari ibu kini dapat merasakannya kembali walaupun hanya sesekali. Ketika itu bentuk kepalamu mulai terlihat, pucuk-pucuk gigi mulai tumbuh dan refleks mengisap serta menelanmu mulai berkembang.

Hari perjanjianmu dengan sang Khaliqpun tiba, hari itu Allah bertanya kepadamu "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" dan engkaupun menjawabnya "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". Ketika engkau menerima persyaratan yang telah ditentukan sang Khaliq, maka ibumupun merasakan kehadiranmu, saat itu rambut dan alismu mulai tampak serta lapisan pelindung verniks menutupimu.

Wahai Anakku ....
Rutinitas ibumu semakin hari kian padat, saat-saat menunggu kahadiranmu sangat menyibukkannya. Anakku, bentuk ibumu sangat berubah, dia makan sedikit tapi sering, berat badannya semakin meningkat. Kala itu sidik jari tangan dan kakimu mulai tampak dan matamupun mulai terbuka

Persiapan ibumu semakin lengkap, semangatnya untuk bekerja di rumah juga makin tinggi. Ibumu sering mengatakan  "Banyak menggerakkan badan itu, akan memudahkan dalam persalinan kelak". Pada masa itu engkau mulai mengisap jempol cegukan & menangis, rasa manis dan asam mulai kau kenali, engkau mulai merespon rasa sakit, cahaya dan suara. "Dia menendang" ibumu sering berujar demikian ketika merasakan gerakanmu yang terkadang di sebelah kiri dan sebelah kanan perut ibumu.

Saat otakmu tumbuh pesat dan kebutuhanmu akan kalsium, zat besi, protein makin penting. Organ tubuhmu telah terbentuk dengan baik namun paru-parumu belum cukup matang. Anakku, kakak dan ibumu semakin kompak, mereka sering jalan-jalan ketika pagi dan sore hari, aktivitasnya dirumahpun tak berubah, mencuci piring dan pakaian, memasak, membersihkan rumah, bermmain sama kakak, "Hitung-hitung olahraga", ia sering berujar demikian.

Wahai Anakku...
Aktivitas jalan-jalan pagi dan sore hari ibumu dan kakak semakin sering dan waktunyapun kian lama, sebelumnya mereka hanya keluar sekitar 30 menit tapi sekarang kadang mereka keluar sampai 1 jam lebih. segala sesuatu untuk menyambutmu hampir sempurna. "kapan harinya ibu", beberapa tetangga sering bertanya pada ibumu demikian. Paru-parumu sudah matang 85-95%, engkau tumbuh semakin besar hingga menjadi kurang aktif karena keterbatasan ruang yang engkau miliki.

Malam itu ibumu merasakan sakit yang kadang-kadang muncul, kamipun menuju Rumah Sakit dan menanti kahadiranmu. Malam yang dilalui ibu adalah malam yang serasa sangat panjang. Nak, malam itu ibu tidak tidur, sakit yang dirasakannya sangat hebat hingga sesekali dia menangis, mengerang dan itu dilaluinya semalaman, anakku.

Ketika Adzan subuh berkumandang, tangisan pertamamupun terdengar, tangis haru kami mengiringinya, lepaslah sudah penderitaan ibu (tapi yakinlah anakku dia tidak pernah sedetikpun menyesalinya apalagi mengutuk rasa sakit dan derita yang dialaminya). 

Wahai Anakku...
Kini, setelah beberapa bulan kelahiranmu engkaupun semakin lincah, beberapa katapun telah engkau ucapkan dengan sempurna. Engkau jadi bidadari di keluarga ini, anakku.

Semoga engkau selalu menyadari perjanjianmu dengan Sang Maha Pencipta sebelum engkau lahir, maka tugasmu untuk hadir di Bumi-Nya Allah dapat engkau penuhi untuk Beribadah dan menyembah hanya kepada-Nya.


untuk anakku Alzena Badzlin





Selasa, 14 April 2015

Bermain sama kakak





Temaram sore ini begitu indah
Tak ada deru angin yang memburu
Tak ada air mata yang menetes
Apalagi darah yang mengalir
Hanyalah gerimis yang sesekali menampakkan diri
Menerpa tubuh mungil ini.

Wahai anakku, bermain engkau sepuas hatimu, karena hidup seoarang anak adalah bermain

Wahai anakku, berlari secepat yang engkau bisa, karena kelak engkau tak bisa lari dari takdirmu

Wahai anakku, lepaskan tawamu... lepaskanlah....