Aroma kuah Coto Makasar semakin menjejali hidung ketika warung kecil itu mulai tampak di depan mata, semakin mempercepat langkah ketiga mahasiswa yang baru keluar dari kampus setelah perkuliahan siang ini. Terlihat dari wajah dan penampilannya kalau mereka sering menahan lapar (yaa... wajarlah, keuangan anak kuliahan kan seperti pasang surutnya air laut, kalau tidak ada kiriman dan mau makan tinggal menuju ke kost-kosan sebelah yang berisi mahasiswi dengan alasan minta nasi buat lem, tapi yang mengherankan bagi para mahasiswi, minta nasi untuk lem tapi bawa piring trus ambil satu ikan goreng, heran ya?). Bergegas mereka masuk dan mencari meja yang kosong seperti biasa meja yang menjadi incaran mereka adalah meja agak disudut, apa hubungannya makan Coto Makassar dengan meja di sudut? mau tahu jawabannya? terus ikuti mereka !. 86 Siap.
"Wah mejanya terisi Nang", sedikit meringis menahan kepala yang sudah nyut-nyutan akibat dari uap asam lambung yang naik ke kepala, Decky menatap temannya.
"Sabar mi, sebentar lagi mereka selesai", berusaha menghibur Idul sambil menahan gejala yang sama dialami Decky.
Sambil menunggu di emperan toko yang menjadi sandaran salah satu tiang warung ini, ketiga anak muda rupanya mahasiswa salah satu perguruan tinggi di kota ini yang baru keluar dari kampus, seorang pengamen yang sepertinya nasib mereka tidak jauh berbeda menyetel senar gitarnya. (mungkin mengalihakan rasa laparnya juga ya?)
"Cepatmi, itu sudah keluarmi", bergegas mereka masuk dan menuju meja yang menjadi target mereka.
"Tiga campur daeng" setengah berteriak Nanang yang belum duduk dengan sempurna mengangkat tiga jarinya ke arah Daeng Penjual Coto.
Aroma kuah Coto Makassar bercampur jeruk nipis dari meja sebelah hampir saja membuat air liur ketiga pemuda ini hampir saja menetes membasahi meja andalan mereka, untunglah sebelum menetes dengan cepat kembali ditelan yang menimbulkan bunyi "gluk", bapak dari meja sebelah melirik mereka sambil tersenyum. Decky yang paling keras "gluknya" hanya mengetuk-ngetuk meja dengan jari tengahnya.
"Tabe' Cotota' di", dua orang pelayan mengantarkan tiga mangkuk coto dan sepiring ketupat yang menggunung. Pelayan yang pertama kembali ke meja daeng yang sedang mengisi mangkuk pesanan pelanggan yang baru masuk, tapi pelayan yang satunya menuju ke meja yang kosong dekat pintu masuk dan mengambil piring ketupat yang kondisinya sama dengan yang disodorkan ke meja 3 Nanang dan teman-temannya kemudian ketupat tersebut diletakkan di meja mereka.
Setelah menambah kecap, jeruk nipis, lombok tumis dan irisan daun bawang mereka mulai makan. beberapa menit kemudian, setelah bunyi sruuup-sruuup beberapa kali daging coto di mangkuk pemuda ini masih utuh, yang berubah hanyalah kuahnya yang semakin dangkal dan kulit ketupat di depan mereka yang semakin banyak.
"Tambah cotonya daeng", bapak di meja sebelah menyerahkan mangkuk kosongnya ke pelayan. Berbeda dengan meja disebelah si bapak, meja si bapak hanya tampak satu atau mungkin dua kulit ketupat. Mejanya hampir terbebas dari kulit ketupat, tapi di sebelahnya kulit ketupat bertebaran hampir setinggi botol kecap si daeng.
Sambil berdiri dan berjalan menuju meja daeng penjual coto, Nanang menyerahkan mangkoknya "Tambah kuahnya daeng", sambil menahan pedas dan keringat yang membasahi jidat sampai lehernya. Mangkuk Decky juga mulai mengering tinggal menyisakan potongan-potongan kecil daging, usus dan beberapa bagian lambung tampak seperti handuk yang di potong-potong, bergegas dia menuju si daeng "Tambah juga daeng", sambil menyodorkan mangkuknya ke daeng.
Idul yang melihat kedua temannya sepertinya mengalami De Javu, bagaimana tidak, mangkuk mereka yang tadinya kosong kini kembali seperti semula tanpa kurang sepotong dagingpun dan yang pasti harga yang mereka bayarkan tetap harga semangkuk Coto Makassar. Sedikit ragu Idul juga menghampiri daeng "Tambahka' juga kuahnya daeng" si daeng menerima mangkuknya sambil melirik ke wajah idul yang basah sampai ke bajunya.
De Javu betul-betul dialami ketiganya, 2 piring ketupat yang tadinya menggunung kini tinggal sebiji. "daeng masih ada ketupatta'? "
"Iye' adaji" si pelayan mengambil piring ketupat dan menambahkan ke meja mereka.
Kejadian dari awal terulang kembali tapi kini sesekali daging coto berhasil juga menyentuh lambung mereka. Hanya beberapa saat mangkuk mereka betul-betul bersih, tinggallah meja dihadapan mereka yang penuh dengan kulit ketupat.
Sambil mengisap rokoknya dalam-dalam Nanang, Decky, Idul berjejer menuju ke meja daeng.
"Berapa daeng"
"Berapa ketupatmu?"
"13 daeng"
"Dua puluh lapan ribu" kemudian Nanang keluar sambil mengibas-ngibaskan telapak tangannya ke mukanya.
"Kalau saya berapa daeng"
"Berapa kau ketupatmu"
"12 daeng"
"Dua puluh tujuh ribu" Decky menyerahkan beberapa lembar uang 5 ribuan.
"Saya ia daeng"
"Kau ia berapa"
"15 daeng" beberapa pelanggan warung tersenyum-senyum melihat Idul karena dialah yang paling kurus diantara mereka tapi dia yang makan ketupat paling banyak.
"30 ribu"
"Makasih daeng" Idul menyusul kedua rekannya keluar dari warung coto langganan mereka.
Setelah menikmati makanan favoritnya merekapun pulang ke kos-kosan dan membayangkan hidangan Coto Makassar yang membuat keringat mereka mengalir akan mereka nikmati lagi bulan depan, sama seperti bulan-bulan sebelumnya (dengan catatan kiriman normal dan tidak ada biaya lain-lain yang muncul dari kampus).
Bravo Mahasiswa, perjuangkan makanan favoritmu.
Bersambung....
#mengingat beberapa tahun yang lalu
"Wah mejanya terisi Nang", sedikit meringis menahan kepala yang sudah nyut-nyutan akibat dari uap asam lambung yang naik ke kepala, Decky menatap temannya.
"Sabar mi, sebentar lagi mereka selesai", berusaha menghibur Idul sambil menahan gejala yang sama dialami Decky.
Sambil menunggu di emperan toko yang menjadi sandaran salah satu tiang warung ini, ketiga anak muda rupanya mahasiswa salah satu perguruan tinggi di kota ini yang baru keluar dari kampus, seorang pengamen yang sepertinya nasib mereka tidak jauh berbeda menyetel senar gitarnya. (mungkin mengalihakan rasa laparnya juga ya?)
"Cepatmi, itu sudah keluarmi", bergegas mereka masuk dan menuju meja yang menjadi target mereka.
"Tiga campur daeng" setengah berteriak Nanang yang belum duduk dengan sempurna mengangkat tiga jarinya ke arah Daeng Penjual Coto.
Aroma kuah Coto Makassar bercampur jeruk nipis dari meja sebelah hampir saja membuat air liur ketiga pemuda ini hampir saja menetes membasahi meja andalan mereka, untunglah sebelum menetes dengan cepat kembali ditelan yang menimbulkan bunyi "gluk", bapak dari meja sebelah melirik mereka sambil tersenyum. Decky yang paling keras "gluknya" hanya mengetuk-ngetuk meja dengan jari tengahnya.
"Tabe' Cotota' di", dua orang pelayan mengantarkan tiga mangkuk coto dan sepiring ketupat yang menggunung. Pelayan yang pertama kembali ke meja daeng yang sedang mengisi mangkuk pesanan pelanggan yang baru masuk, tapi pelayan yang satunya menuju ke meja yang kosong dekat pintu masuk dan mengambil piring ketupat yang kondisinya sama dengan yang disodorkan ke meja 3 Nanang dan teman-temannya kemudian ketupat tersebut diletakkan di meja mereka.
Setelah menambah kecap, jeruk nipis, lombok tumis dan irisan daun bawang mereka mulai makan. beberapa menit kemudian, setelah bunyi sruuup-sruuup beberapa kali daging coto di mangkuk pemuda ini masih utuh, yang berubah hanyalah kuahnya yang semakin dangkal dan kulit ketupat di depan mereka yang semakin banyak.
"Tambah cotonya daeng", bapak di meja sebelah menyerahkan mangkuk kosongnya ke pelayan. Berbeda dengan meja disebelah si bapak, meja si bapak hanya tampak satu atau mungkin dua kulit ketupat. Mejanya hampir terbebas dari kulit ketupat, tapi di sebelahnya kulit ketupat bertebaran hampir setinggi botol kecap si daeng.
Sambil berdiri dan berjalan menuju meja daeng penjual coto, Nanang menyerahkan mangkoknya "Tambah kuahnya daeng", sambil menahan pedas dan keringat yang membasahi jidat sampai lehernya. Mangkuk Decky juga mulai mengering tinggal menyisakan potongan-potongan kecil daging, usus dan beberapa bagian lambung tampak seperti handuk yang di potong-potong, bergegas dia menuju si daeng "Tambah juga daeng", sambil menyodorkan mangkuknya ke daeng.
Idul yang melihat kedua temannya sepertinya mengalami De Javu, bagaimana tidak, mangkuk mereka yang tadinya kosong kini kembali seperti semula tanpa kurang sepotong dagingpun dan yang pasti harga yang mereka bayarkan tetap harga semangkuk Coto Makassar. Sedikit ragu Idul juga menghampiri daeng "Tambahka' juga kuahnya daeng" si daeng menerima mangkuknya sambil melirik ke wajah idul yang basah sampai ke bajunya.
De Javu betul-betul dialami ketiganya, 2 piring ketupat yang tadinya menggunung kini tinggal sebiji. "daeng masih ada ketupatta'? "
"Iye' adaji" si pelayan mengambil piring ketupat dan menambahkan ke meja mereka.
Kejadian dari awal terulang kembali tapi kini sesekali daging coto berhasil juga menyentuh lambung mereka. Hanya beberapa saat mangkuk mereka betul-betul bersih, tinggallah meja dihadapan mereka yang penuh dengan kulit ketupat.
Sambil mengisap rokoknya dalam-dalam Nanang, Decky, Idul berjejer menuju ke meja daeng.
"Berapa daeng"
"Berapa ketupatmu?"
"13 daeng"
"Dua puluh lapan ribu" kemudian Nanang keluar sambil mengibas-ngibaskan telapak tangannya ke mukanya.
"Kalau saya berapa daeng"
"Berapa kau ketupatmu"
"12 daeng"
"Dua puluh tujuh ribu" Decky menyerahkan beberapa lembar uang 5 ribuan.
"Saya ia daeng"
"Kau ia berapa"
"15 daeng" beberapa pelanggan warung tersenyum-senyum melihat Idul karena dialah yang paling kurus diantara mereka tapi dia yang makan ketupat paling banyak.
"30 ribu"
"Makasih daeng" Idul menyusul kedua rekannya keluar dari warung coto langganan mereka.
Setelah menikmati makanan favoritnya merekapun pulang ke kos-kosan dan membayangkan hidangan Coto Makassar yang membuat keringat mereka mengalir akan mereka nikmati lagi bulan depan, sama seperti bulan-bulan sebelumnya (dengan catatan kiriman normal dan tidak ada biaya lain-lain yang muncul dari kampus).
Bravo Mahasiswa, perjuangkan makanan favoritmu.
Bersambung....
#mengingat beberapa tahun yang lalu